Pada 25 Juni tahun ini, Bolivia secara resmi mencabut larangan pembayaran kripto. Kedengarannya mungkin sepele, tapi ini berarti pemerintah negara tersebut beralih dari “melarang” menjadi “merangkul”—sebuah perubahan 180 derajat.
Yang lebih krusial adalah langkah selanjutnya: Bank sentral sedang merancang CBDC (“Bolivia Virtual Coin”) dan berencana meluncurkannya pada Hari Kemerdekaan, 6 Agustus. Sementara itu, perusahaan energi milik negara YPFB kini menggunakan Bitcoin dan kripto untuk membayar impor minyak—ini adalah transaksi nyata di tingkat pemerintah, bukan sekadar uji coba.
Sinyal 2: Data Berbicara
Data yang dirilis bank sentral membuat tercengang:
Paruh pertama 2025, volume transaksi aset kripto mencapai USD 294 juta
Tumbuh 630% dibanding periode yang sama di 2024
Naik 12 kali lipat dibanding Juli tahun lalu
Kenapa naiknya begitu drastis? Karena kebutuhan nyata. Bolivia menghadapi inflasi parah dan depresiasi mata uang lokal, masyarakat tidak punya pilihan lain—BTC dan USDT menjadi penyelamat aset. Platform P2P dan protokol DeFi mengisi kekosongan yang tidak bisa dijangkau bank tradisional; ini bukan spekulasi, tapi soal bertahan hidup.
Sinyal 3: Merek Global Bergerak
CEO Tether, Paolo Ardoino, pada Juni mengunggah beberapa foto: barang-barang di toko bandara Bolivia diberi label harga dalam USDT. Belakangan dikonfirmasi bahwa Toyota, BYD, dan Yamaha secara resmi mulai menerima pembayaran USDT.
Sekilas ini terlihat seperti gimmick pemasaran, tapi sebenarnya sudah sampai pada titik kritis adopsi nyata. Ketika merek mobil tradisional mulai menerima stablecoin, artinya apa? Artinya infrastruktur sudah cukup matang, likuiditas pasar sudah besar, dan kebijakan sudah cukup ramah—semuanya harus ada.
Amerika Latin di Titik Balik
Bolivia tidak sendiri. Di Meksiko, USDT dan BTC mendominasi remitansi lintas negara; di Argentina, stablecoin digunakan untuk melawan inflasi 100%+. Tahun ini, tingkat adopsi kripto di Amerika Latin melonjak dari 53% menjadi 63%.
Kini Bolivia dan El Salvador menandatangani nota kesepahaman strategis, berbagi kerangka kerja blockchain dan regulasi. Bolivia belajar dari pengalaman El Salvador untuk membangun ekosistem yang teregulasi. Lebih dari 200 perusahaan Bolivia harus menyesuaikan diri dengan aturan baru sebelum akhir tahun.
Ini bukan hanya kisah satu negara—ini restrukturisasi ekonomi seluruh kawasan. Dari pinggiran ke pusat, dari larangan ke institusionalisasi.
Logika inti: Inflasi tinggi + mata uang lemah + eksklusi finansial = ledakan permintaan kripto. Bolivia sedang menjadi contoh paling nyata dari rumus ini.
Halaman ini mungkin berisi konten pihak ketiga, yang disediakan untuk tujuan informasi saja (bukan pernyataan/jaminan) dan tidak boleh dianggap sebagai dukungan terhadap pandangannya oleh Gate, atau sebagai nasihat keuangan atau profesional. Lihat Penafian untuk detailnya.
Bolivia tiba-tiba menjadi pusat kripto Amerika Latin, 3 sinyal membuktikan ini bukan sekadar hype
Sinyal 1: Adopsi Tingkat Nasional Telah Dimulai
Pada 25 Juni tahun ini, Bolivia secara resmi mencabut larangan pembayaran kripto. Kedengarannya mungkin sepele, tapi ini berarti pemerintah negara tersebut beralih dari “melarang” menjadi “merangkul”—sebuah perubahan 180 derajat.
Yang lebih krusial adalah langkah selanjutnya: Bank sentral sedang merancang CBDC (“Bolivia Virtual Coin”) dan berencana meluncurkannya pada Hari Kemerdekaan, 6 Agustus. Sementara itu, perusahaan energi milik negara YPFB kini menggunakan Bitcoin dan kripto untuk membayar impor minyak—ini adalah transaksi nyata di tingkat pemerintah, bukan sekadar uji coba.
Sinyal 2: Data Berbicara
Data yang dirilis bank sentral membuat tercengang:
Kenapa naiknya begitu drastis? Karena kebutuhan nyata. Bolivia menghadapi inflasi parah dan depresiasi mata uang lokal, masyarakat tidak punya pilihan lain—BTC dan USDT menjadi penyelamat aset. Platform P2P dan protokol DeFi mengisi kekosongan yang tidak bisa dijangkau bank tradisional; ini bukan spekulasi, tapi soal bertahan hidup.
Sinyal 3: Merek Global Bergerak
CEO Tether, Paolo Ardoino, pada Juni mengunggah beberapa foto: barang-barang di toko bandara Bolivia diberi label harga dalam USDT. Belakangan dikonfirmasi bahwa Toyota, BYD, dan Yamaha secara resmi mulai menerima pembayaran USDT.
Sekilas ini terlihat seperti gimmick pemasaran, tapi sebenarnya sudah sampai pada titik kritis adopsi nyata. Ketika merek mobil tradisional mulai menerima stablecoin, artinya apa? Artinya infrastruktur sudah cukup matang, likuiditas pasar sudah besar, dan kebijakan sudah cukup ramah—semuanya harus ada.
Amerika Latin di Titik Balik
Bolivia tidak sendiri. Di Meksiko, USDT dan BTC mendominasi remitansi lintas negara; di Argentina, stablecoin digunakan untuk melawan inflasi 100%+. Tahun ini, tingkat adopsi kripto di Amerika Latin melonjak dari 53% menjadi 63%.
Kini Bolivia dan El Salvador menandatangani nota kesepahaman strategis, berbagi kerangka kerja blockchain dan regulasi. Bolivia belajar dari pengalaman El Salvador untuk membangun ekosistem yang teregulasi. Lebih dari 200 perusahaan Bolivia harus menyesuaikan diri dengan aturan baru sebelum akhir tahun.
Ini bukan hanya kisah satu negara—ini restrukturisasi ekonomi seluruh kawasan. Dari pinggiran ke pusat, dari larangan ke institusionalisasi.
Logika inti: Inflasi tinggi + mata uang lemah + eksklusi finansial = ledakan permintaan kripto. Bolivia sedang menjadi contoh paling nyata dari rumus ini.