Model Stock-to-Flow Bitcoin (S2F) telah menjadi salah satu alat valuasi paling kontroversial di dunia kripto. Dibuat oleh analis PlanB, model ini berusaha memprediksi harga BTC dengan membandingkan pasokan Bitcoin yang sudah ada (stock) terhadap koin baru yang ditambang per tahun (flow)—intinya mengukur tingkat kelangkaan.
Cara Kerja (Versi Sederhana)
Rasio S2F lebih tinggi = aset lebih langka = potensi nilai lebih tinggi. Batas maksimum Bitcoin sebesar 21 juta koin membuat rasio S2F terus naik seiring terjadinya halving kira-kira setiap 4 tahun. Secara teori, kelangkaan yang meningkat ini seharusnya mendorong harga naik. Dan secara historis, model ini cukup baik mengikuti pergerakan harga BTC, terutama saat terjadi peristiwa halving.
Rekam Jejak: Solid Tapi Tidak Sempurna
Model ini berhasil memprediksi reli besar setelah halving sebelumnya. Namun, juga meleset pada beberapa prediksi—seperti proyeksi PlanB harga $100k+ pada akhir 2021 (tidak terjadi) dan prediksi batas atas harga tahun 2025.
Para Kritikus Bersuara Keras dengan Alasan
Vitalik Buterin (co-founder Ethereum) secara terang-terangan menyebutnya “benar-benar tidak terlihat bagus” dan “berbahaya” karena menyesatkan investor dengan asumsi yang terlalu disederhanakan.
Alex Krüger (ekonom kripto terkemuka) menolak model ini sebagai “omong kosong”, dengan alasan model ini mengabaikan dinamika permintaan dunia nyata.
Nico Cordeiro (kepala investasi Strix Leviathan) mempertanyakan apakah kelangkaan saja yang mendorong nilai—bagaimana dengan perubahan regulasi, peningkatan teknologi (Lightning Network), sentimen pasar, dan ekonomi global?
Apa yang Salah dari Model Ini
Mengabaikan faktor eksternal: Regulasi, ekonomi makro, inovasi teknologi, perubahan sentimen
Terlalu disederhanakan: Bitcoin bukan hanya emas. Kegunaan, laju adopsi, dan efek jaringan juga penting
Masa lalu ≠ Masa depan: Korelasi historis tidak menjamin akurasi di masa depan dalam pasar yang volatil dan kompleks
Jebakan pemula: Prediksi yang terlalu sederhana bisa membuat investor ritel mengambil keputusan buruk
Para Pembela
Adam Back (CEO Blockstream, OG Bitcoin) melihat S2F sebagai kurva yang masuk akal untuk menyesuaikan data masa lalu—peristiwa halving yang mengurangi pasokan bisa saja secara logis mendorong harga naik.
Cara Menggunakannya dengan Benar
Jika Anda mempertimbangkan S2F untuk tesis Bitcoin Anda:
Jangan jadikan satu-satunya sinyal. Gabungkan dengan analisis teknikal, metrik on-chain, dan data sentimen
Lebih cocok untuk holder jangka panjang, bukan trader. Noise jangka pendek mengurangi kekuatan prediktif model ini
Perhatikan fundamental juga: laju adopsi, lingkungan regulasi, kondisi makroekonomi
Kelola risiko dengan benar: Tetapkan stop-loss dan ukuran posisi, terlepas dari apa pun yang dikatakan model
Tetap fleksibel: Pasar kripto terus berkembang. Adaptasi strategi Anda sesuai perubahan kondisi
Kesimpulan
Model S2F adalah kerangka yang berguna untuk memahami peran kelangkaan dalam proposisi nilai Bitcoin. Tapi ini hanya salah satu sudut pandang. Menganggapnya sebagai kebenaran mutlak adalah resep untuk rugi besar. Harga Bitcoin di masa depan akan dipengaruhi oleh kelangkaan, tentu saja—tapi juga oleh efek jaringan, kejelasan regulasi, kondisi makro, dan kecepatan adopsi.
Gunakan S2F sebagai bagian dari toolkit Anda, bukan satu-satunya strategi Anda.
Halaman ini mungkin berisi konten pihak ketiga, yang disediakan untuk tujuan informasi saja (bukan pernyataan/jaminan) dan tidak boleh dianggap sebagai dukungan terhadap pandangannya oleh Gate, atau sebagai nasihat keuangan atau profesional. Lihat Penafian untuk detailnya.
Model Stock-to-Flow Bitcoin: Mengapa Para Ahli Terbagi Pendapat tentang Prediktor Legendaris Ini
Model Stock-to-Flow Bitcoin (S2F) telah menjadi salah satu alat valuasi paling kontroversial di dunia kripto. Dibuat oleh analis PlanB, model ini berusaha memprediksi harga BTC dengan membandingkan pasokan Bitcoin yang sudah ada (stock) terhadap koin baru yang ditambang per tahun (flow)—intinya mengukur tingkat kelangkaan.
Cara Kerja (Versi Sederhana)
Rasio S2F lebih tinggi = aset lebih langka = potensi nilai lebih tinggi. Batas maksimum Bitcoin sebesar 21 juta koin membuat rasio S2F terus naik seiring terjadinya halving kira-kira setiap 4 tahun. Secara teori, kelangkaan yang meningkat ini seharusnya mendorong harga naik. Dan secara historis, model ini cukup baik mengikuti pergerakan harga BTC, terutama saat terjadi peristiwa halving.
Rekam Jejak: Solid Tapi Tidak Sempurna
Model ini berhasil memprediksi reli besar setelah halving sebelumnya. Namun, juga meleset pada beberapa prediksi—seperti proyeksi PlanB harga $100k+ pada akhir 2021 (tidak terjadi) dan prediksi batas atas harga tahun 2025.
Para Kritikus Bersuara Keras dengan Alasan
Vitalik Buterin (co-founder Ethereum) secara terang-terangan menyebutnya “benar-benar tidak terlihat bagus” dan “berbahaya” karena menyesatkan investor dengan asumsi yang terlalu disederhanakan.
Alex Krüger (ekonom kripto terkemuka) menolak model ini sebagai “omong kosong”, dengan alasan model ini mengabaikan dinamika permintaan dunia nyata.
Nico Cordeiro (kepala investasi Strix Leviathan) mempertanyakan apakah kelangkaan saja yang mendorong nilai—bagaimana dengan perubahan regulasi, peningkatan teknologi (Lightning Network), sentimen pasar, dan ekonomi global?
Apa yang Salah dari Model Ini
Para Pembela
Adam Back (CEO Blockstream, OG Bitcoin) melihat S2F sebagai kurva yang masuk akal untuk menyesuaikan data masa lalu—peristiwa halving yang mengurangi pasokan bisa saja secara logis mendorong harga naik.
Cara Menggunakannya dengan Benar
Jika Anda mempertimbangkan S2F untuk tesis Bitcoin Anda:
Kesimpulan
Model S2F adalah kerangka yang berguna untuk memahami peran kelangkaan dalam proposisi nilai Bitcoin. Tapi ini hanya salah satu sudut pandang. Menganggapnya sebagai kebenaran mutlak adalah resep untuk rugi besar. Harga Bitcoin di masa depan akan dipengaruhi oleh kelangkaan, tentu saja—tapi juga oleh efek jaringan, kejelasan regulasi, kondisi makro, dan kecepatan adopsi.
Gunakan S2F sebagai bagian dari toolkit Anda, bukan satu-satunya strategi Anda.